Selasa, 17 Juli 2018

Menyoal Listrik Sampah: Amankah bagi Lingkungan dan Kesehatan?



Wiyati, sibuk mengais sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Piyungan, Bantul, Yogyakarta, medio April lalu. Tanpa penutup mulut dan sarung tangan, dia mencari botol plastik dan kaleng di tumpukan sampah seluas lapangan sepak bola itu. Bau busuk menyengat, bercampur antara makanan busuk, botol dan kaleng bekas.

“Sudah begini kerjaan kami, hidup dari mana lagi untuk bisa makan setiap hari,” katanya.

Dia mendengar desas-desus akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPA Piyungan. Dia takut tak bisa lagi cari uang dari mengais sampah lagi.

Pada 2016, keluar Peraturan Presiden Nomor 18/2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Surabaya dan Makassar. Tak ada Yogyakarta, dalam aturan itu.

Wiyati, dapat kabar itu dari rekan-rekan lain yang ikut mengais sampah di Piyungan. Dia merasa sedikit lega tempat menghasilkan uang Rp30.000 perhari, tak kan jadi PLTSa.

“Jogja ndak jadi dibikin PLTSa, saya dengar 2016. Alhamdulillah…,” katanya.

Kekhawatiran Wiyati lebih soal takut hilang sumber penghidupan. Bagi Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) tak hanya soal sumber pendapatan tetapi dampak jangka panjang termasuk bagi kesehatan warga.

Kekhawatiran AZWI bertambah, terlebih dengan kelahiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Padahal, aturan serupa–Perpres 18/2016–sudah dibatalkan Mahkamah Agung pada 2017.

Yuyun Ismawati, Senior Advisor BaliFokus dan AZWI kepada Mongabay awal Juni mengatakan, lahirnya perpres penerapan teknologi termal untuk mengurangi volume sampah di beberapa kota tak realistis, mahal dan berpotensi gagal.

Rencana ini, katanya, baik dari segi pembiayaan maupun teknis, berlawanan dengan prinsip pengelolaan sampah sebagai sumber daya material berkelanjutan. Dampak terhadap kesehatan dan keberlanjutan operasional jangka panjang, katanya, juga akan jadi beban pemerintah daerah dan masyarakat.

“Sekilas, tak ada perbedaan signifikan dari judul kedua perpres kecuali penggunaan kata ramah lingkungan. Perpres ini hanya mengubah wajah dan lebih fatal,” katanya.

Judul ada kata “berbasis teknologi ramah lingkungan” dengan kriteria tak jelas.

Dia menilai, perpres baru ini sebagai upaya instan pemerintah dalam mencapai target penanganan sampah tahun 2025 sebesar 70%–sesuai amanat Peraturan Presiden No. 97/2017.

Pemerintah, katanya, cenderung abai risiko kesehatan dan finansial dengan mengasumsikan operasi insinerator akan berjalan mulus tanpa gagal operasi.

Perpres No. 35/2018, katanya, merefleksikan tak ada jaminan keselamatan, dan kesehatan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan, terlihat pada persyaratan minimum dari dokumen pra-studi kelayakan.

Dwi Sawung, Pengkampanye Perkotaan dan Energi, Walhi Nasional juga mengatakan, kelayakan proyek PLTSa masih dipertanyakan.

Hingga kini, belum ada satupun PLTSa termal berhasil didorong menandatangani perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan PLN. Pengolahan sampah teknologi termal seperti insinerator, gasifikasi dan pirolisis, katanya, memerlukan kajian dan pertimbangan mendalam serta menyeluruh.

Sawung mencontohkan, dari dua PLTSa termal dalam tahap pembangunan di Kota Bekasi dan Surakarta, berjalan tanpa ada perencanaan matang. Pembangunan satu PLTSa, di Jakarta, juga belum jelas.

Proyek-proyek PLTSa tampak dipaksakan berjalan dan PLN seolah dipaksa membeli listrik dari PLTSa dengan harga mahal walaupun Jawa-Bali kini kelebihan suplai listrik.

“Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah mengingatkan listrik PLTSa tak ekonomis.”