Selasa, 17 Juli 2018

Bruce Buckheit: Energi Terbarukan Lebih Murah dari Sumber Fosil



Kualitas udara memburuk di berbagai belahan dunia jadi momok tersendiri, termasuk Indonesia, antara lain penyebabnya, polusi dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Di Indonesia, pembangunan pembangkit batubara baru terus berjalan dengan alasan pemenuhan keperluan energi listrik.

Bicara polusi batubara, dalam riset Harvard dan Greenpeace pada 2015, bertajuk “Ancaman Maut PLTU Batubara” mengungkapkan, dampak buruk polutan PLTU batubara di Indonesia, membuat 6.500 jiwa meninggal dini.

Penyebab kematian, 2.700 jiwa kena stroke, 2.300 jantung insemik, 300 kanker paru-paru, 400 paru obstuktif kronik, 800 lain karena penyakit pernafasan dan kardiovaskular. Beragam penyakit itu karena paparan SO2, NOx dan PM 2,5 ditambah hujan asam, emisi logam berat seperti merkuri, arsenik, nikel, kromium dan timbal. Belum lagi, ada tambahan prediksi kematian negara tetangga Indonesia, mencapai 7.100 jiwa.

Penelitian lanjutan Harvard dan Greenpeace pada Januari 2017 menyebutkan, kematian dini pertahun di negara-negara Asia Tenggara, Korea, Taiwan dan Jepang dampak pembangkit pembangkit listrik batubara. Di Asia Tenggara, negara terparah Indonesia disusul Vietnam.

Dalam penelitian itu berisi soal rencana lanjutan pembangunan PLTU batubara, emisi di Asia Tenggara, Korea Selatan dan Jepang, akan naik tiga kali lipat pada 2030 dengan konsentrasi peningkatan terbesar di Indonesia dan Vietnam.

Kalau itu berjalan, bakal menciptakan 70.000 kematian dini setiap tahun. Indonesia, dikatakan bakal menderita tertinggi kematian dini, diikuti Vietnam, lalu Myanmar pada 2030.

Sebenarnya, sumber energi terbarukan seperti air, angin, matahari, panas bumi, begitu besar di negeri ini. Sayangnya, pemanfaatan sumber energi terbarukan masih di bawah 10%. Alasan selalu muncul, energi terbarukan mahal!

Bruce Buckheit, konsultan energi dan lingkungan di ClimateWorks Foundation, juga mantan Direktur United State Environmental Protection Agency (US-EPA) bidang Pengendalian Kualitas Udara, mengatakan, energi terbarukan jauh lebih murah dibandingkan energi fosil.

Beberapa waktu lalu, Mongabay berkesempatan mewawancarai Buckheit, berikut petikan wawancaranya.